My Insight on Ngenest the Movie

Setelah bertahun-tahun gw tinggalkan blog ini, sekarang gw nulis lagi. Kali ini tentang film yang baru gw tonton dan menginspirasi gw cukup banyak untuk menulis lagi.

Gw beruntung dapet undangan ke premiere film perdana Ko Ernest yang diangkat dari 3 buku yang berjudul sama, "Ngenest". Film ini mengisahkan kehidupan Ko Ernest sebagai orang Cina di Indonesia. 


Yay kebagian nonton premiere!

Dari trailernya aja, film ini kocak, tapi thoughtful, sekaligus bisa mengundang pro dan kontra. Sebelom nonton filmnya, pikiran gw adalah "Ko Ernest is taking quite a risk here". Itu dikarenakan film ini menceritakan secara gamblang bagaimana seorang Cina dibully hanya karena rasnya. Terang-terangan diteriakin "Cina!", Sebuah kata yang untuk sebagian dari kami, terasa derogatory dan traumatis thanks to Orba dan kejadian 1998.

Enough of the preamble, gw akan mulai dari review filmnya. Overall, film ini kocak parah. Patrick yang sok bijak, Awwe dan Adjis yang sukses menuai tawa setiap kali mereka muncul dengan obrolan mereka, dan masih banyak lagi spot-spot yang bikin gw ngakak di film ini. Alur cerita di film ini terasa padat dan cepat di awal, tapi mulai dari tengah hingga akhir terasa mulai melambat dan terbangun perlahan. Sepanjang gw nonton film ini gw ga melirik jam tangan, which is a good sign. Berarti alur ceritanya enak diikuti sampe ga kerasa, filmnya udahan. An enjoyable movie. Sebagai bonus, abis premiere dapet angpao isinya souvenir. Hehe.


Isinya kalender mini, stiker, gantungan kunci, sama tempelan magnet. Mayan.

Selama ini kalo ada orang Cina muncul di film Indonesia, biasanya cuma jadi pelengkap aja. Itupun yang ditampilin stereotipikal. Yang ngomongnya pelo sendiri lah, yang sifatnya paling pelit/perhitungan di satu geng lah. Di film ini, Ko Ernest berhasil menampilkan, ya seperti inilah realita kehidupan orang Cina di Indonesia, jauh dari kesan stereotipikal. Mulai dari kalo ngobrol sesama Cina pake istilah-istilah dari bahasa daerah Cina, sampe orang-orang Cina di satu neighborhood biasanya memang kenal satu sama lain :)) Hal-hal yang terasa aneh dan mengganggu di film ini sih sebenernya trivial aja, kayak Ernest dan Meira pergi nonton, poster filmnya "Harry Potter and the Chamber of Secrets" tapi abis nonton malah ngobrolin "Sirius Black di film itu". Tadinya gw pikir "apaan nih? Sirius baru nongol di film ketiga oi! Sebagai Potterhead saya protes!". Tapi setelah diklarifikasi sama Ko Ernest, ternyata orang filmnya salah ngeprint poster dan udah ga keburu buat ganti. Sebenernya Ernest sama Meira emang nonton Harry Potter and The Prisoner of Azkaban. Sama satu lagi, penggunaan istilah-istilah yang diambil dari bahasa daerah Cina. Hopeng, amsyong, tiko, bo ceng li, bo kam guan, sampe cibai (buat yang ga tau, ini kasar dan jorok banget artinya). Itu kalo bukan orang Cina atau ga pernah bergaul sama orang Cina ga bakalan ngerti. Tapi quoting dari Ko Ernest sendiri waktu gw kasih tau ini: "bodo :))". Lagian istilah-istilah itu masih level beginner. Belom level auban, cam siong, dan chau si nyin. *seruput kuah ayam tim obat* eh iya, dan jaman sekarang udah jarang banget karaoke lagu Mandarin di kawinan orang Cina woy :))

Sekarang giliran gw membahas pandangan pribadi gw soal film ini sebagai sesama Chinese Indonesian. Jujur aja, gw ga bisa relate dengan keresahan yang dirasakan Ko Ernest. Wajar, karena lingkungan dimana gw tinggal, sekolah, dan kuliah, gw adalah mayoritas. Gw tinggal di Kelapa Gading (data dari Wikipedia: 65% penduduk Kelapa Gading adalah Chinese Indonesian). Sekolah di sekolah swasta di daerah Gading juga, yang isi sekolahnya hampir 100% Cina. Kuliah? Sama aja. Apalagi fakultas gw misah sendiri dari kampus pusat. Fakultas gw letaknya di Pluit. Abis kuliah, jalan-jalan cari makan di PIK atau Muara Karang. Lengkap udah. Makanya gw cuma pernah merasakan diledek karena Cina itu cuma 2 kali. Itupun di luar kota dimana gw memang minoritas, dan ga terang-terangan dikatain "Cina!". Cuma dibahas sipitnya doang. "Eh bangun dong! Tidur aja" dan "dia hebat ya, merem tapi jalan ga nabrak". Udah. Ga ada seujung kuku yang dirasain Ko Ernest.
Gw sempet liat di Twitter ada yang kontra dengan apa yang disajikan Ko Ernest di film ini. Seorang Cina dibully abis-abisan, sampe akhirnya memutuskan nyari istri pribumi. Menurut orang itu film ini menertawakan apa yang ga pantes ditertawakan (orang dibully karena rasnya) dan dengan enak ngomong kata "Cina", seperti yang sudah gw bilang bagi sebagian orang terasa merendahkan. Gw sih ga setuju. Ini kenyataan lho, ada orang dibully hanya karena ras. It is a harsh truth, indeed. Dan kalo mau dipikir lebih serius, film ini justru melawan itu semua. Melawan penggencetan hanya karena ras. Menunjukkan betapa efeknya sangat dalam. Sampai-sampai si korban merasa anaknya tidak boleh mengalami hal yang sama dengan dia, sehingga mencari cara bagaimana "melunturkan" trait rasnya. Kalo dipikir-pikir, sedih lho itu. Memang sih ada aja yang berpikir langkah Ernest di film ini ekstrim, sampe-sampe sengaja nyari istri pribumi. Gw memang tidak bisa relate, tapi tidak bisa ngejudge juga karena memang ga pernah mengalami hal itu. Kalo gw mengalami hal yang sama dengan Ko Ernest, mungkin juga gw akan bilang "gw mau nyari suami pribumi!". Meskipun kalo gw bilang itu, reaksi orang tua gw sih bakalan jauh dari sekedar keselek makanan kayak Om Ferry Salim dan Tante Olga Lydia. Palingan kalo ga dibawa ke psikiater, diusir dari rumah dan ga dianggep anak :))

Nyambung ke kata "Cina", salah satu misi Ko Ernest dalam film ini adalah menghapus kesan negatif dari kata "Cina". Selama ini memang kata itu masih dirasa kasar dan merendahkan, sampe-sampe dibuat aturan diganti "Tiongkok" untuk menyebut negara Cina dan "Tionghoa" untuk menyebut orang keturunan Cina. Tapi gw pribadi setuju dengan Ko Ernest. Kenapa Cina harus dianggap kasar? Kami memang Cina kok. Dianggap kasar karena tadi, rezim Orba yang membuat mindset kata Cina itu kasar. Menurut gw ini sama aja kayak Voldemort. Orang-orang takut nyebut namanya, bahkan setelah dia tidak berkuasa lagi. Diganti you-know-who, he-who-must-not-be-named, tapi ini justru malah menambah ketakutan. A quote from Harry Potter, "fear of a name increases fear of the thing itself." Takut nyebut kata "Cina" justru malah membuat kaku dan terkesan ada jarak. Cina ya Cina. Lu kalo mau melawan dark magic, jangan takut panggil dia Voldemort. Lu kalo mau menghilangkan diskriminasi, ga usah takut menyebut atau disebut "Cina". Kembalikan maknanya seperti dulu. Sebuah suku/ras yang tinggal di Indonesia. Sama seperti Jawa, Sunda, Batak dan suku lainnya.

In short, film Ngenest ini berhasil menyampaikan pesan dan misinya dibungkus dengan komedi dan alur cerita yang enak untuk ditonton. Nonton ya di bioskop! :D

Ikuti filosofi tokai.

Hidup Cina.

-Christy Huang-

Comments

Popular Posts